Tantangan Iman Akhir Zaman

Wahai manusia, siapakah makhluk Allah yang paling menakjubkan keimanannya?”

Demikian pertanyaan Rasulullah saw kepada para sahabatnya. Para sahabat menjawab, “Malaikat”, kemudian Rasulullah saw menjawab, “Bagaimana mungkin para malaikat tidak beriman sedangkan mereka selalu melaksanakan perintah Allah?” Para sahabat menjawab lagi, “Kalau begitu, para Nabi dan Rasul yang paling menakjubkan keimanannya.

Bagaimana para Nabi dan Rasul tidak beriman, sedangkan segala tindak-tanduk mereka dibimbing oleh wahyu”, Rasulullah saw pun menyanggah lagi.

Untuk ketiga kalinya, para sahabat mencoba memberikan jawaban, “Kalau begitu, para sahabat lah yang paling menakjubkan keimanannya.” Rasulullah saw pun secara halus memberikan jawaban lagi, “Bagaimana mungkin sahabat-sahabatku tidak beriman, sedangkan mereka selalu berdampingan denganku.

Rasulullah saw tidak serta merta memberikan penolakan terhadap jawaban para sahabat, Rasulullah saw menjawab pernyataan sahabat dengan penuh kehalusan dan diikuti dengan penalaran logis. Kemudian Rasulullah saw pun menjawab, “Orang yang paling menakjubkan keimanannya adalah kaum yang datang sesudah kalian. Mereka beriman kepadaku, walaupun mereka tidak pernah melihatku. Mereka membenarkan risalah yang aku bawa. Mereka amalkan risalah yang aku bawa meskipun tidak pernah melihatku.

Berdasarkan riwayat di atas, saya belajar memaknai iman sebagai sebuah tantangan. Semakin tinggi tingkat tantangan dan cobaan, semakin tinggi pula pahala yang akan didapat jika kita berhasil melewatinya. Semakin sulit kita menjalankan sebuah keyakinan (iman), semakin tinggi pula nilai keimanan kita di sisi Allah.

Ilustrasi riwayat di atas bisa kita lihat pada realita masyarkat kita. Kita tidak akan heran dengan para ulama yang selalu merasakan getaran cinta Allah. Jika Allah mengangkat derajat mereka, tentulah itu merupakan konsekuensi logis. Namun, yang membuat kita takjub adalah ketika orang-orang yang disibukkan dengan kehidupan duniawi tapi masih menomorsatukan kehidupan akhirat. Misalnya, seorang manajer perusahaan yang sangat sibuk dengan pekerjaannya, tetapi ketika waktu-waktu sholat, dialah yang pertama kali mengajak para bawahannya untuk sholat berjamaah di masjid.

Begitu juga dengan para mahasiswa yang disibukkan dengan tugas kuliah dan organisasi, begitu mendengar adzan, tidak menunda-nunda lagi langsung memenuhi panggilan adzan tadi. Ada lagi seorang pedagang keliling, meskipun dalam kondisi lelah tetapi dia tetap menjalankan puasa di bulan Ramadhan.

Bagi saya, manajer, mahasiswa, dan pedagang keliling tersebut memiliki iman yang paling menakjubkan. Meskipun tidak pernah melihat Rasulullah saw dan para sahabat, tetapi tetap membenarkan, meyakini, dan mengamalkan risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw.

Memang kita bukan sahabat Rasul yang menyaksikan secara langsung keindahan akhlak Rasulullah, kita juga bukan malaikat yang tidak memiliki hawa nafsu sehingga selalu terjaga kadar keimanannya, kita juga bukan para Nabi dan Rasul yang tindak-tanduknya selalu dibimbing oleh wahyu sehingga kadar keimanannya selalu meningkat.

Dalam kelemahan itulah kita masih beriman kepada Allah. Dalam kondisi keterbatasan itulah kita selalu berusaha istiqomah mendekat kepada Allah. Di tengah himpitan ekonomi, liberalisme, dan globalisasi yang semakin gencar, kita tetap istiqomah dalam kebaikan. Ketika lingkungan sudah tidak kondusif, ketika lingkungan sudah jauh dari kondisi ideal, kita tetap berusaha untuk meneladani akhlak Nabi dan para sahabat. Maka, berbahagialah orang-orang yang beriman meskipun mereka tidak pernah melihat secara langsung keindahan akhlak Rasulullah dan mendengar perkataan beliau.

Leave a comment