1 Spring 1 Summer 1/3 Autumn

Waktu berlalu begitu cepatnya, tahu-tahu sudah berada di hari ini. Padahal, serasa kemarin berada di masa-masa pengumuman kelulusan beasiswa LN, padahal sudah 1 tahun lewat; seperti baru kemarin berada dalam masa-masa penantian keberangkatan, padahal sudah 7 bulan lewat. Benar-benar seperti sebuah ilusi, dan banyak flashback yang sebenarnya saya juga tidak paham bisa kesampaian. Ya, ini patut disyukuri, karena sebenarnya banyak yang menggantungkan harapan dan kebahagiaan dari jalan ini.

Sebagai negara dengan empat musim, kini saya telah melewati 1 spring, 1 summer, dan 1/3 autumn—seperti judul di atas. Dari rasa menggigil kedinginan; berkipas-kipas kegerahan; sampai seperti merasakan cuaca Bandung pun pernah saya rasakan. Inilah menariknya negara dengan empat musim; banyak pengalaman yang didapat dari tiap musimnya. Tentu ada juga ketidaksesuaiannya.

1 Spring (Haru)

Inilah musim yang menyambut saya dulu sewaktu datang pertama kali ke Jepang. Begitu keluar dari pesawat, brrrrr, udara dingin dan angin kering langsung menyambar. Tercatat 10 derajat Celcius waktu itu di Bandara Internasional Kansai, Osaka. Jari-jari mengepal kuat dan kulit wajah mengering. Jujur saja, saya tidak kuat berlama-lama di luar ruangan. Tapi, syukurnya setiap masuk ke dalam ruangan atau kendaraan, selalu ada heater sehingga suhu jadi hangat.

Sisa-sisa butiran salju masih terlihat di kiri-kanan sewaktu naik densha (kereta) dari Kansai ke Kanazawa. Inilah masa-masa euphoria dimulai, masa dimana mendambakan sebuah negeri utopia yang kemudian ingin disamakan seperti di Indonesia. Masa-masa dimana sebuah kultur dibenturkan (culture shock). Dan masa ketika diri ini harus banyak berlapang dada untuk menerima perbedaan-perbedaan.

Inilah masa dimana rasa keingintahuan menghambur kuat; menjelajahi setiap sudut kota dan menemukan banyak hal baru disana. Seperti anak desa yang datang ke kota; mendongakkan kepalanya lirik kiri-kanan terkesima dengan apa yang dilihatnya. Benar-benar masa seperti seorang turis; selalu terkesima dan menganggap hebat dengan apa yang baru saja dilihat dan dirasakannya.

Disini juga masa dimana bertemu dengan keluarga baru—PPI Ishikawa. Bertemu dengan kumpulan orang dari asal yang sama dan untuk tujuan yang sama: pelajar (mahasiswa). Menggelar hanami; melihat bunga sakura secara langsung. Ikut acara ini-itu atas dasar rasa ingin tahu akan hal-hal baru.

Dalam kehidupan akademik, saya mulai beradaptasi dalam kelas yang heterogen. Mengenal karakter teman baru dan sensei. Berbicara dengan bahasa Inggris dan sesekali memberanikan diri mempraktikkan bahasa Jepang. Ah, ternyata masih harus berbenah. Karena selama ini sudah kadung lupa diri dalam zona nyaman; berada dalam lingkungan yang homogen.

Rata-rata orang Indonesia lebih kuat dengan cuaca panas ketimbang cuaca dingin. Sementara orang Jepang sebaliknya. Ada beberapa hal yang terasa serba susah karena faktor kedinginan ini. Hal-hal yang berhubungan dengan air (bersih-bersih, mandi, berwudhu) membuat badan menggigil; juga ketika harus berada di luar ruangan, sangat tidak nyaman.

Saya rasa, musim dingin akan membuat kita susah melakukan apa-apa. Karena badan juga susah bergerak—nyaman di ruangan. Mau melakukan ini-itu terkendala cuaca, fisik juga kadang tidak kuat menahan dingin. Kalau menahan panas masih bisa, tapi ketika badan menggigil, semua serba tidak fokus. Jemari juga kaku, mau mengetik laporan macam-macam susah. Biaya listrik dan gas lebih mahal karena menyalakan heater, mandi air panas, banyak masak, dan menimbun persediaan makanan di apato.

Rekor catatan suhu terendah adalah 2 derajat Celcius (relatif). Tapi, pelan-pelan suhu di spring ini mulai naik hingga kisaran 24 derajat Celcius. Persis seperti suhu di Bandung. Sehingga semuanya sudah terbiasa. Hmmm, masih belum terbayang bagaimana nanti fuyu (musim dingin).

1 Summer (Natsu)

Dengar-dengar dari cerita senior, musim panas itu beda kondisinya dengan musim kemarau saat di Indonesia. Kalau kemarau, barangkali hanya mataharinya saja yang terik. Tapi, musim panas ditambah dengan kelembaban udaranya yang tinggi. Coba bayangkan, panas matahari menguapkan seluruh komponen cairan dan terkonsentrasi di udara. Angin segar menjadi mahal!

Dan karena itu, setiap hari badan terasa lengket-lengket karena keringat. Kalau pada awal-awal spring jarang mandi karena dingin, tapi di summer mandi adalah agenda wajib! Panasnya merata, bahkan sampai ke dalam apato. Serasa seperti di sauna, keringat mengucur tanpa latihan fisik. Rekor catatan suhu tertinggi adalah 38 derajat Celcius (relatif).

Bersepeda dari apato ke kampus dalam waktu 20 menit sukses membuat saya banjir keringat. Setelah itu, ngadem lagi di lab. Di musim panas, saya lebih sering ke kampus (lab) … untuk ngadem, hehe. Ini juga sebagai langkah penghematan biaya listrik (AC) di apato, hehe :D.

Di musim ini bertepatan dengan bulan Ramadan, dan puncaknya musim panas juga berlangsung di bulan Ramadan. Uniknya negara empat musim adalah kita merasakan Ramadan yang bervariasi. Kalau di musim dingin, waktu berpuasa kita lebih pendek. Tapi, di musim panas waktu berpuasa kita lebih panjang. Dan siklus ini akan terus berputar.

Di musim ini, saya meladeni rasa keingintahuan saya untuk mengeksplor Jepang dengan 18 kippu. Ini dibuka pada natsu yasumi (liburan musim panas), fuyu yasumi (liburan musim dingin), dan haru yasumi (liburan musim semi). Syukur, saya diberi kesempatan untuk melihat hal-hal baru tentang Jepang; mengunjungi tempat-tempat baru; dan mengenal Jepang lebih dalam; serta sistem yang ada di dalamnya.

Di penghujung musim, biasanya terjadi hujan berkepanjangan yang menjadi penanda bahwa musim akan segera berganti. Musim panas telah berganti; tapi serasa baru kemarin berkipas-kipas kegerahan. Semua silih berganti; selalu ada pengalaman baru yang harus dihadapi.

1/3 Autumn (Aki)

Pergantian dari natsu ke aki adalah kondisi yang paling ideal. Secara formal, urusan akademik masih libur—meski harus tetap nge-lab. Matahari tidak terlalu terik; suhu udaranya benar-benar nyaman, lebih tepatnya nyaman untuk berleha-leha, hehe. Dan kondisinya pun sudah seperti di Indonesia; waktu malam dan siang sudah proporsional. Jadwal sholat juga sudah persis waktunya.

Jika saat haru atau natsu, waktu siang lebih panjang dari waktu malam. Tapi, saat haru waktu malam dan siang proporsional. Di Jepang ada yang namanya 秋分の日 (Shūbun no hi) Autumnal Equinox Day pada 23 September. Ini adalah hari dimana waktu malam sama dengan waktu siang. Setelah hari itu, waktu malam pelan-pelan akan melebihi waktu siang.

Waktu malam yang panjang akan terasa pada saat fuyu (musim dingin) nanti. Kemudian, waktunya akan kembali ke kondisi proporsional saat memasuki haru lagi. Dan pada tanggal 20/21 Maret diperingati sebagai 春分の日 (Shunbun no hiVernal Equinox Day, yaitu hari dimana waktu malam mulai sama lagi dengan waktu siang. Setelah itu, bergantian waktu siang yang lebih lama dari waktu malam. Keadaan ini berlanjut hingga bertemu lagi dengan Autumnal Equinox Day. Menarik ya?

 

 

 

1 thought on “1 Spring 1 Summer 1/3 Autumn

  1. Pingback: TAWAKAL: Kumpulan Cerita Hikmah | bijak.net | bijak.net | inspirasi … | inspirasi.me

Leave a comment