Prinsip Balas Budi Orang Jepang

Orang Jepang mengenal istilah 恩(on) atau 恩返し (ongaeshi) yang berarti balas budi. Orang Jepang merasa berhutang budi atas segala kebaikan yang diterimanya. Maka dari itu, ia akan menolak sebisa mungkin kebaikan yang kita tawarkan. Jikapun “terpaksa” menerima tawaran tersebut, maka akan ia ingat terus sampai ia bisa membalas kebaikan yang diterimanya.

Mentraktir orang Jepang itu tidak mudah. Biasanya kalau kita mengajak orang Jepang makan, itu artinya masing-masing akan membayar sendiri-sendiri (betsu-betsu). Pada dasarnya, orang Jepang tidak mau ditraktir karena dianggap utang budi. Dan utang budi dianggap sebagai beban yang berat.

Kalau ada orang Jepang yang sakit, umumnya mereka tak mau ditengok, karena katanya, ada kewajiban moral bagi si sakit atau keluarganya untuk membalas kunjungan itu. Konon lagi, Di beberapa daerah ada aturan yang menentukan berapa persen yang harus dikembalikan oleh keluarganya kalau ada yang datang melawat kepada orang yang meninggal dan memberikan uang duka.

Itulah sebabnya, jika ada kekkon-shiki (resepsi pernikahan), maka yang diundang harus nyecep (salam tempel) sebanyak 30.000 Yen. Tapi, ketika ada yang meninggal, maka uang dukanya dibatasi sekitar 5.000 Yen saja. Selain sebagian biaya ditanggung oleh hoken (asuransi); ini juga agar tidak menambah beban duka si penerima karena merasa berutang budi harus mengembalikan uang duka tersebut.

Kekkon-shiki di Wajima-shi, Ishikawa. Tamu undangan resmi harus nyecep (salam tempel) oyuwai 30.000 Yen

Meskipun jadi kebiasaan orang Jepang kalau berkunjung ke rumah seseorang membawa omiyage (oleh-oleh)—biasanya berupa kue; tapi dengan demikian menimbulkan perasaan berutang budi dan hal itu menyebabkan perasaannya tidak enak dan perasaan tidak enak itu hanya bisa dihapuskan dengan segera membalas kebaikan itu. Maka, jangan berkecil hati dulu jika pemberian kita ditolak.

Orang Jepang tetap memerhatikan kultur, sekalipun menjadi negara maju. Kultur tersebut tidak kemudian ikut tergerus dan memudar. Setiap kebaikan apapun yang diterimanya, harus segera dibalas. Juga saat kita menerima kebaikan apapun dari orang lain, sebenarnya harga diri kita jatuh dan “tertawan”  sampai kemudian kita bisa membalas kebaikan tersebut.

Subhanallah, banyak nilai-nilai Islami yang saya dapat dari orang-orang Jepang—meskipun mereka not yet muslim. Jika kita merujuk pada Q.S An-Nisa [4]: 86, “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.”

Kedudukan orang yang memberi, lebih tinggi ketimbang yang menerima. Maka, jangan merasa senang dulu jika perasaan kita lebih senang ketika banyak diberi ketimbang memberi. Karena sebenarnya, dengan memosisikan diri kita sebagai penerima, itu artinya harga diri kita sedang tertawan sampai kemudian kita bisa membalas pemberian itu.

Perasaan lebih senang menerima mendekatkan kita pada mental miskin. Itu sama saja halnya berlatih menjadi miskin. Pantas saja kemiskinan di Indonesia ini sulit diberantas karena pelakunya senang menjadi miskin─karena gemar menerima. Ini bukan masalah pemerintah, masalah ekonomi, atau apapun namanya. Tapi, ini masalah mentalitas!

4 thoughts on “Prinsip Balas Budi Orang Jepang

  1. martaliaws

    Berarti kalo di Jepang itu identitas yang ‘nyecep’ ditulis ya? Atau emang udah saklek kalo ‘nyecep’ di resepsi 30.000 yen dan ta’ziyah 5.000 yen?

    Reply
    1. Rizal Dwi Prayogo Post author

      Ga perlu ditulis, soalnya udah tertulis sebagai undangan resmi. Beda dengan budaya di Indonesia, setiap orang boleh datang asal kenal dgn Pengantin (dan pastinya harus diundang). Itu udah saklek 30.000 Yen (kesepakatan), jadi kalo ada org Jepang yg nikah tuh, yang diundang cuma senengnya bentar karena inget harus nyecep 30.000 Yen. Taziyah juga kesepakatan.

      Reply

Leave a comment