Menarik kalau kita coba men-tafakuri arti makna berdiam diri dalam Islam. Ia selalu digunakan sebagai solusi sederhana yang justru berada dalam tahap puncak. Dalam puncak ibadah haji, syarat sah nya adalah wukuf di Arafah. Justru di akhir aktivitas fisik yang melelahkan, solusi sederhana itu ditawarkan: berdiam diri.
Pun dalam puncaknya malam-malam Ramadan, disunahkan untuk beri-itikaf, yang juga bisa dimaknai sebagai ‘berdiam diri’ (di masjid). Itikaf tersebut merupakan upaya untuk mendapatkan Lailatul Qodr.
Derajat seorang manusia lebih tinggi karena ia dikaruniai kemampuan berpikir. Puncaknya berpikir ini justru adalah tafakur (kontemplasi), yang mana dalam proses tersebut dibutuhkan keadaan tenang, hening, dan berdiam diri. Malah bukan termasuk kategori berpikir keras.
Berdiam diri ini adalah ruang dimana seseorang bisa berpikir lebih dalam tentang dirinya dan Tuhannya. Ruang yang diberikan bagi manusia agar ia bisa lebih intim mengenal dirinya. Karena siapa yang mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya. Man arofa nafsahu, faqod arofa Robbahu.. Kebijaksanaan justru diperoleh saat banyak berdiam diri.
Proses Rasulullah mendapatkan wahyu juga diawali dengan berdiam diri di Goa Hiro.
Dalam bahasa saya, mungkin ‘diam’ merupakan aktualisasi diri tertinggi dan jalan mengenali diri sendiri.
Barang siapa mengenal diri sendiri maka dia akan mengenal Tuhannya.
kalau bicara adalah perak, maka diam adalah emas
used car websites
Pingback: Anak Layangan | .rizaldwiprayogo