Pengalaman Kehilangan Barang di Jepang

Sebelum saya datang ke Jepang, saya sudah sering mendengar atau membaca kisah di Jepang tentang orang yang kehilangan barang berharganya tapi kemudian bisa ditemukan lagi. Dan juga, menurut cerita, ada orang yang ketinggalan laptopnya di stasiun. Kemudian, orang itu mencari-cari kembali dan laptop tersebut masih teronggok manis di tempat semula. Tanpa kurang satu apapun dan tidak ada orang yang mencurinya.

Ternyata kabar yang saya dengar tersebut bukanlah omong kosong. Ada senpai (senior) saya yang juga pernah kehilangan kartu ATM-nya, kemudian ia mengecek kembali (retracing) ke tempat kemungkinan kartu ATM itu hilang. Ia baru sadar setelah dua hari lewat, tapi kemudian ia tetap mencari di ATM Bank dan menanyakan kepada ginkouin (petugas bank).

Lalu petugas bank memeriksa identitas senpai saya itu dengan cara sederhana. Ia menuliskan sembarang denwa bangou (nomor telepon) dan menanyakan apakah ini nomor telepon anda? Ternyata bukan, lalu ia minta untuk menuliskan nomor telepon senpai saya itu. Kemudian ia mengecek monitornya. Ternyata cocok! Nomornya sesuai dengan data bank. Singkat cerita, senpai saya berhasil menemukan lagi kartu ATM-nya di kantor polisi.

Cerita ini membuat saya kagum sekaligus penasaran. Bagaimana bisa orang Jepang dan sistem di dalamnya bisa se-elegan ini? Dari rasa keingintahuan ini, jujur saja saya pernah “meniatkan” untuk menghilangkan barang berharga saya sendiri. Ya, saya tidak bercanda. Saya memang pernah “meniatkan”, saya beri tanda kutip karena mungkin niat saya ini dianggap konyol. Tapi, ya itulah kenyataannya. Saya ingin merasakan sendiri pengalamannya, karena selama ini saya hanya mendengar cerita orang saja, “Katanya … konon…  dsb”, dan ini harus dibuktikan secara empirik, hehe …

Awalnya sempat terpikir untuk secara sengaja meninggalkan barang berharga saya di tempat umum. Setelah saya pikir-pikir, kemungkinan barang berharga itu adalah keitai denwa (handphone). Tapi, kemudian nyali saya ciut karena takut nanti handphone saya benar-benar hilang. Kemudian, saya mencari alternatif barang lain dengan spesifikasi barang yang agak murah dari handphone. Tapi, kemudian yang terpikirkan adalah setrikaan 😀 (kenapa sampai terpikir ke sini ya?). Tapi, kehilangan seterikaan nampaknya kurang “elegan”, hehe … 

Singkat cerita, niat saya secara sengaja untuk menghilangkan barang sendiri sempat tertunda. Hingga sampailah pada tanggal 28 Juli 2012 malam. Saat itu, kami ada buka bersama dengan Ishikawa Moslems Society (IMS)—semacam organisasi Islam di Jepang yang dibagi per daerah. Dan di hari yang sama juga, di Kanazawa sedang ada festival hanabi (kembang api). Jadi, karena dua acara itu, saya sengaja membawa kamera—kemudian kamera menjadi pemeran utama.

Singkat cerita, saya dan teman-teman berangkat ke festival hanabi. Ternyata, banyak penduduk lokal yang memang sengaja menggelar tikar untuk menonton festival ini. Suasananya ramai, hingga kemudian saya memutuskan untuk kembali ke Okuwa Hall (tempat kami buka bersama dan biasa sholat Tarawih berjamaah) lagi. Lalu, saya segera menyimpan kamera di keranjang depan sepeda saya dan menggenjot sedikit terburu-buru untuk mengejar waktu sholat Isya dan tarawih.

Kemudian, di tengah perjalanan saya melihat keranjang sepeda saya kosong! Kemana kamera saya? Saya juga sebenarnya tidak menyadari bahwa kamera saya jatuh, mungkin karena ada undakan sehingga kamera saya terlempar dan jatuh. Saya panik dan berniat untuk mengecek balik (retracing) jalan yang tadi saya lewati. Tapi, karena sudah malam, banyak orang, dan agak gelap (saya menyusuri pinggir sungai), jadi saya urungkan saja niat untuk mengecek balik, berhubung mau mengejar sholat Isya dan tarawih. Beruntungnya, di dekat situ ada pos polisi, langsung saja saya lapor di pos polisi itu.

Dengan paniknya, watashi no kamera wa nakushimashita (kamera saya hilang)! Lalu polisi itu langsung memberikan semacam surat lapor kehilangan dan menginterogasi saya terkait detail barang dan lokasi kehilangan, lalu saya diminta untuk memberikan nomor kontak. Disinilah pentingnya belajar nihonggo, jangan kira hanya dipakai di kelas saja. Nihonggo sangat penting, karena banyak orang lokal Jepang yang tidak fasih bahasa Inggris. Dan polisi itu menjadi salah satu diantaranya.

Setelah melapor, saya kemudian kembali ke Okuwa Hall. Mencoba memasrahkan kepada Allah dan mengingat-ngingat kembali cerita seperti di awal tulisan ini. Saya coba meyakini diri sendiri bahwa kamera saya insya Allah ditemukan. Ini di Jepang, bukan di Indonesia, saya pikir begitu. Dan saya kemudian merenung, mungkin ini bentuk pengabulan dari niat konyol saya ingin menghilangkan barang. Ternyata, tanpa diniatkan barang berharga saya hilang juga.

Besok paginya (Minggu, 29 Juli 2012) saya mengecek balik ke TKP semalam. Setelah saya susuri, cek dan ricek, ternyata kamera saya tidak ditemukan. Ya sudahlah, semoga diberi dengan yang lebih baik dari ini dan coba untuk mengikhlaskan, pikir saya waktu itu. Tapi, harapan saya masih tinggi bahwa kamera saya akan ditemukan, setelah berkaca dari pengalaman senpai saya.

Dua hari berselang dari pelaporan (Senin, 30 Juli 2012), ada nomor telepon yang tidak dikenal masuk ke handphone saya. Saya berbaik sangka ini pasti dari kantor polisi. Soalnya, jarang-jarang saya dapat nomor telepon asing begini, dan di Jepang jarang terjadi salah sambung. Tapi, panggilan pertama tersebut tidak saya sadari karena handphone ada di tas. Dan berharap ada telepon lagi dari nomor yang sama, lalu saya taruh handphone di atas meja supaya bisa lebih tanggap.

Sekitar tiga jam kemudian, ada telepon masuk dari nomor yang sama. Saya yakin ini pasti dari kantor polisi, dan positif! Dia langsung meracau dengan bahasa Jepang. Saya mengerutkan dahi tanda amari wakarimasen (kurang mengerti). Lalu saya sebutkan kata kunci “watashi no kamera (kamera saya)?”, ia langsung sepaham dengan maksud saya itu. Untuk percakapan selanjutnya, saya minta tolong teman Japanese saya berbicara langsung dengan polisi tersebut. Kesimpulannya, saya bisa mengambil kamera saya besok (31 Juli 2012) di kantor polisi dengan membawa data diri. Yatta!

Kanazawa Police Station

Di kantor polisi saya diantar ke bagian otoshi mono (barang hilang), lalu polisi menanyakan nama saya, “rizaru desu!”. Lalu ia memberikan bungkusan berisi kamera dan surat pelaporan barang hilang saya di awal. Data pelaporan dan barang cocok! Saya bisa mengambil kamera saya lagi tanpa birokrasi yang berbelit-belit. Alhamdulillah, kamera itu sudah 4 tahun menemani saya menjelajah. Sayang kalau harus beli baru, karena kamera ini pun masih bisa dipakai. Alhamdulillah, Allah memberikan saya pengalaman yang sedari awal sudah saya niatkan.

Kemudian, saya tanyakan kepada polisi tadi, “Bagaimana barang hilang bisa ditemukan lagi?” Karena selama ini, saya terbiasa dengan pengalaman mengikhlaskan jika ada barang yang hilang ketika di Indonesia. Jangan harap bisa kembali, yang bisa dilakukan adalah mencoba mengikhlaskan dan berbesar hati. Sebagian besar kejadian, barang yang hilang pasti lapur! Tapi, kemudian polisi tadi bilang begini, “Ada orang yang menemukannya lalu ia membawa ke kantor polisi.” Sungguh benar-benar berakhlak, meski kita tahu orang Jepang itu tidak ber-Tuhan.

Di kampus, saya ceritakan kepada teman Japanese saya bahwa kamera saya sudah ditemukan. Dan saya tanya lagi kepada dia, “Bagaimana barang hilang bisa ditemukan lagi?”, lalu saya pancing dengan kalimat begini, “Kenapa tidak kamu ambil saja?”. Dan teman saya jawab, “iie (tidak) itu tidak baik, kita harus gentle, itu harus dikembalikan.” Se-sederhana itu kah alasannya? Jujur saja, logika saya masih belum bisa menerima bagaimana orang yang tidak ber-Tuhan bisa berakhlak baik? Sedangkan kita, khususnya saya, yang mengaku ber-Tuhan Allah tapi akhlak-nya masih belum baik. Dari pengalaman ini, kita harus merendahkan hati untuk belajar kepada orang yang tidak ber-Tuhan tapi berakhlak. Jepang, benar-benar sebuah negeri utopia!

Hmmm, menarik ya …

10 thoughts on “Pengalaman Kehilangan Barang di Jepang

  1. Berita Jepang

    saya juga pernah punya pengalaman kehilangan agenda di bandara kansai waktu mau pulang ke indonesia
    malah waktu itu ga sadar kalau agenda saya hilang
    begitu kembali ke osaka, saya dapat surat dari kantor polisi bandara kansai kalau agenda saya sudah ditemukan
    baru saya sadar kalau agenda saya hilang

    Reply
  2. mexonly

    Hahaha.. percobaan berhasil!!
    Menurut saya.. menurut saya, yaa.. orang2 Jepang memang udah dididik pny mental spt itu, meski sebagian besar gak mengenal agama, tp mereka berpatokan pd norma..

    Mungkin bs jg dibilang budaya, ya.. budaya berperilaku dan bersikap, bs juga influence dr budha atau shinto. Meski mereka gak menganut agamanya, tp bbrp filosofinya diterapkan dlm kehidupan sehari-hari.

    Contoh kecilnya masalah makanan, gmn mereka menghargai makanan (ada filosofinya, tp lupa istilahnya), atau sekedar mengucap terima kasih “itadakimasu” dan “gochisousama” atas makanan yg mereka makan. Kalo di Islam mgkn spt doa sebelum dan sesudah makan, tp utk org2 Jpg yang tdk menganut agama apapun, mgkn smcm bentuk syukur, meski entah bentuk syukur pada siapa.. hehe..

    Dan semua perilaku itu sepertinya diturunkan dr pendidikan sejak dini.
    Cuma opini doang, sih.. Maaf kalo ada yg tdk berkenan.. 🙂

    Reply
    1. Rizal Dwi Prayogo Post author

      Opini mas/mba sependapat kok sama apa yg saya pikirin ttg org Jepang..
      Makanya, sy sampe ada “niat” ngelakuin percobaan di atas, hehe
      btw, thx sharing opininya 🙂

      Reply
  3. Yuki

    Salam kenal dik Rizal,kami skg baru dtg dr tokyo,dan sesampainya dibandara haneda,baru menyadari klo satu tas saya kececer entah dimana kemungkinan di kereta mau ambil barang di hotel,antara sinjuku ke otechimachi st,kira2 sy hrs menanyakan dg siapa dan bgm ya dik,ditunggu balasannya

    Reply
  4. Rian

    Memang katanya Jepang itu negara atheis paling religius di dunia, mind set orang orangnya mengalahkan negara beragama.

    Ini yang membuat saya malu, dan lebih terbuka pemikiran saya, bahwa pribadi orang itu tidak bisa di cerminkan dari agama yang dia anut.

    Ada beberapa teman saya yang “terlihat” suci, agama kuat, rajin ibadah, sering menasihati orang2 sekitar, dan dimata orang2 mereka ini orang2 baik. Tapi setelah kenal dekat, ternyata sifat asli mereka ini sungguh parah, ada yang suka berzinah, mencuri, menipu, tapi ironisnya mereka masih menasihati orang2 untuk tidak berzinah, dll.

    Dan di sisi lain, ada beberapa teman saya yang tidak taat beragama, ibadah jarang, doa jarang, tapi mereka baik sekali, suka membantu orang, jujur, baik.

    Pengalaman ini yang membuat saya sangat benci dengan orang munafik, karena saya sudah melihat banyak orang seperti itu di hidup saya.

    Btw, katanya orang Jepang itu saat SD lebih ditekankan tentang moral dibadingkan pelajaran seperti di negara kita, makanya mereka itu moralnya bagus. Apakah itu benar ?

    Reply

Leave a comment